Ketika mengamati kehidupan di zaman sekarang, sepertinya sikap mengumbar nafsu dan amarah sudah menjadi 'mode' yang trend. Entah apa sebabnya dan dari mana asalnya. Apa akibat dari liberisasi kehidupan yang dikomando oleh materi atau degradasi moral yang begitu parahnya? Buktinya, tidak keluarga tidak saudara, dalam memperebutkan kedudukan dan penghasilan harus terkena dengan yang namanya the survival of the fittest (yang unggul yang mempunyai kekuatan). Artinya, hubungan saudara atau famili tidak menjadi bahan timbangan. Kita sudah lupa dengan tali saudara, malah saling menjatuhkan. Akibatnya, hidup kita tidak humanis lagi.
Apabila diukur dari parameter budaya, kejadian ini sudah keluar dari jalur, tidak nyaman, dan tidak etis. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya apabila ada sebuah opini yang mengatakan kalau budaya kita sedang sakit parah. Yang diperlukan saat ini adalah langkah yang strategis untuk memperbaikinya. Bukan hanya saling banyak bicara namun tidak ada pelaksanaan. Yang menjadi pemimpin, jangan hanya mengeluarkan perintah saja tapi juga harus memberi contoh yang patut untuk dicontoh. Rakyat harus dibekali motivasi yang baik supaya kreatif untuk kemandirian hidupnya, bukan dicetak menjadi pengemis atau tukang minta-minta (the beggar nation). Semua ikhtiar pembangunan diharapkan bisa menjawab masalah yang yang sedang dihadapi sekarang. Utamanya harus bisa mengurangi kemiskinan (pro-poor), menyediakan lapangan pekerjaan (pro-job), meningkatkan kehidupan (pro-growth), dan menjaga lingkungan hidup (pro-environment).
Selama Indonesia merdeka, masyarakat yang tinggal di wilayah tertentu, misalnya masyarakat Sunda, belum mempunyai daya saing yang menjadi andalan. Katanya daerah agraris, tapi tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok sendiri. Apalagi bidang yang lainnya, kita masih bergantung kepada kebaikan orang lain. Hal ini bukanlah dari sebab sumberdaya alam yang sedikit, tapi dari sumberdaya manusia yang perlu dibangun kreatifitas-nya. Jangan putus asa, gampang mengalah dan malas. Harus malu dengan bangsa Jepang yang miskin sumberdaya alam. Orang-orang Jepang penuh dengan rasa penasaran dan rasa keinginan yang kuat, dibarengi dengan ikhtiar dan semangat dalam pekerjaan. Walaupun begitu, kehidupan masyarakat Jepang tetap berpegang teguh pada kebudayaannya.
Sewaktu Hiroshima dan Nagasaki hancur di bom atom oleh sekutu, kaisar menugaskan kaum-kaum terdidik untuk menerjemahkan segala buku-buku tentang ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Jepang. Bukan artinya orang Jepang tidak bisa bahasa asing, tapi bertujuan untuk memelihara kultur Jepang dalam segala kondisi kehidupan ke depannya. Buktinya, walaupun sekarang Jepang sudah menjadi negara maju namun masyarakatnya tetap cinta kepada budayanya sendiri. Beda dengan keadaan kita, melupakan budaya sendiri, adat istiadat dikalahkan oleh pengaruh dari luar, budaya sendiri seperti tamu yang tidak pernah dilirik. Apalagi dalam hal kreatifitas, sepertinya masih terbiasa menjadi konsumen daripada produsen. Kehidupan menjadi konsumtif, berhutang menjadi pepatah kehidupan. Sawah di desa biar saja dijual dipakai beli motor untuk ngojek, atau dibawa pergi ke kota biarpun jadi kuli.
Keadaan ini tentunya tidak boleh dibiarkan. Semua stakeholders bangsa, harus bisa merubah keadaan dibarengi gotong-royong dan saling bekerjasama membangun kemitraan yang kuat. Keterampilan harus menjadi modal untuk kebahagiaan hidup. Kemiskinan dan kebodohan bukan turunan juga bukan warisan. Semua bisa dirubah dimulai dari pribadi diri sendiri, membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di buana (semangat bekerja atau kreatif akan membahagiakan kehidupan di dunia ini). Ke depannya, Insya Allah kita akan menjadi bangsa yang mempunyai harga diri dan tidak takut menghadapi globalisasi. Dengan ikhtiar membangunkan budaya kreatif (creativepreneur), kita akan mempunyai daya tahan yang baik dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam, Wallahu A’lam.
Facebook Notes
Facebook Notes

No comments:
Post a Comment